Cara Bedakan "Software" Asli dan Bajakan
Oleh
chmood
KOMPAS.com – Software bajakan masih terpasang di banyak komputer di Indonesia. Namun, menurut Software Asset Management Microsoft Sudimin Mina, tidak semua pengguna memang benar-benar sengaja memakai perangkat lunak ilegal. Ada juga yang menjadi pemakai secara tidak sengaja, entah karena tertipu atau sebab lain.
Sudimin pun menekankan pentingnya mengenali ciri-ciri fisik software bajakan yang dikemas dalam bentuk cakram keras, supaya calon pembeli tak kecele, khususnya untuk perangkat lunak bikinan Microsoft seperti OS Windows dan Office.
“Pertama, dari sampulnya. Kalau cover saja udah fotokopi, mana mungkin itu software asli?” ujar dia ketika berbicara dalam acara konferensi pers sosialisasi bahaya penggunaan software bajakan di Jakarta, Jumat (30/9/2016).
Salah satu ciri kemasan software original, menurut Sudimin, adalah menyertakan stiker distributor perangkat lunak yang bersangkutan. Lalu di dalam boks seharusnya ada buku manual berisi panduan pemakaian.
Cakram (DVD atau CD) yang memuat software mestinya turut dilabeli dengan stiker hologram dan penanda khusus berbentuk anak panah untuk menunjukkan keaslian.
Terakhir, apabila terlanjur dipasang di komputer, software bajakan biasanya akan bermasalah saat aktivasi sehingga tidak bisa dipakai oleh pengguna dan tak mendapat technical support dari sang pembuat.
Untuk memfasilitasi pengguna yang ingin tahu apakah piranti lunak Microsoft asli atau bukan, raksasa software itu menyediakan laman khusus di alamat www.microsoft.com/howtotell.
Microsoft Indonesia juga meluncurkan situs Cariyangori.com dalam rangka memerangi software bajakan. “Di sana ada berbagai macam informasi seperti ciri-ciri software bajakan dan alamat diler yang menjual software asli,” imbuh Sudimin.
Bedanya palsu dan bajakan
Sekretaris Jenderal Masyarakat Indonesia Anti-Pemalsuan Justisiari P. Kusumah menegaskan bahwa ada perbedaan antara istilah counterfeit (palsu) dengan bajakan.
Dia menjelaskan, counterfeit mengacu pada tiruan barang asli yang dibuat tanpa izin, sementara bajakan merupakan tindak penggandaan ilegal untuk tujuan komersil, misalnya dengan menginstalasi software di banyak komputer sekaligus, melebihi yang seharusnya dibolehkan dalam lisensi pemakaian.
“Barang counterfeit biasanya ada istilah ‘KW’ 1,2 atau 3 (untuk menunjukkan tingkat kemiripan dengan produk asli), tapi di software tidak ada karena sama. Ini sulit dideteksi,” kata Sudimin.
Pelanggaran berupa barang counterfeit akan dihadapkan pada regulasi soal pemakaian merek, sementara pembajakan dikenai undang-undang hak cipta.
“Sebenarnya hukum kita sudah bagus. Ada ancaman denda 4 miliar dan penjara 10 tahun untuk pelaku pembajakan (dalam UU No. 28 Tahun 2014), tapi implementasinya yang susah,” ujar Justisiari mengenai kendala mengatasi pembajakan software di Indonesia.
Beberapa tahun belakangan, selain dalam bentuk cakram keras, pembajakan marak terjadi lewat platform distribusi online yang juga dijadikan sarana menyalurkan software resmi.
Sudimin menjelaskan bahwa Microsoft sudah menjual software secara online di sebagian wilayah dunia seperti China, meski belum menerapkan hal serupa di Indonesia karena terkendala persoalan infrastruktur internet yang disebutnya belum memadai.
“Tapi nanti memang trennya mengarah ke online, semua serba cloud,” tutup Sudimin.
Sudimin pun menekankan pentingnya mengenali ciri-ciri fisik software bajakan yang dikemas dalam bentuk cakram keras, supaya calon pembeli tak kecele, khususnya untuk perangkat lunak bikinan Microsoft seperti OS Windows dan Office.
“Pertama, dari sampulnya. Kalau cover saja udah fotokopi, mana mungkin itu software asli?” ujar dia ketika berbicara dalam acara konferensi pers sosialisasi bahaya penggunaan software bajakan di Jakarta, Jumat (30/9/2016).
Salah satu ciri kemasan software original, menurut Sudimin, adalah menyertakan stiker distributor perangkat lunak yang bersangkutan. Lalu di dalam boks seharusnya ada buku manual berisi panduan pemakaian.
Cakram (DVD atau CD) yang memuat software mestinya turut dilabeli dengan stiker hologram dan penanda khusus berbentuk anak panah untuk menunjukkan keaslian.
Terakhir, apabila terlanjur dipasang di komputer, software bajakan biasanya akan bermasalah saat aktivasi sehingga tidak bisa dipakai oleh pengguna dan tak mendapat technical support dari sang pembuat.
Untuk memfasilitasi pengguna yang ingin tahu apakah piranti lunak Microsoft asli atau bukan, raksasa software itu menyediakan laman khusus di alamat www.microsoft.com/howtotell.
Microsoft Indonesia juga meluncurkan situs Cariyangori.com dalam rangka memerangi software bajakan. “Di sana ada berbagai macam informasi seperti ciri-ciri software bajakan dan alamat diler yang menjual software asli,” imbuh Sudimin.
Bedanya palsu dan bajakan
Sekretaris Jenderal Masyarakat Indonesia Anti-Pemalsuan Justisiari P. Kusumah menegaskan bahwa ada perbedaan antara istilah counterfeit (palsu) dengan bajakan.
Dia menjelaskan, counterfeit mengacu pada tiruan barang asli yang dibuat tanpa izin, sementara bajakan merupakan tindak penggandaan ilegal untuk tujuan komersil, misalnya dengan menginstalasi software di banyak komputer sekaligus, melebihi yang seharusnya dibolehkan dalam lisensi pemakaian.
“Barang counterfeit biasanya ada istilah ‘KW’ 1,2 atau 3 (untuk menunjukkan tingkat kemiripan dengan produk asli), tapi di software tidak ada karena sama. Ini sulit dideteksi,” kata Sudimin.
Pelanggaran berupa barang counterfeit akan dihadapkan pada regulasi soal pemakaian merek, sementara pembajakan dikenai undang-undang hak cipta.
“Sebenarnya hukum kita sudah bagus. Ada ancaman denda 4 miliar dan penjara 10 tahun untuk pelaku pembajakan (dalam UU No. 28 Tahun 2014), tapi implementasinya yang susah,” ujar Justisiari mengenai kendala mengatasi pembajakan software di Indonesia.
Beberapa tahun belakangan, selain dalam bentuk cakram keras, pembajakan marak terjadi lewat platform distribusi online yang juga dijadikan sarana menyalurkan software resmi.
Sudimin menjelaskan bahwa Microsoft sudah menjual software secara online di sebagian wilayah dunia seperti China, meski belum menerapkan hal serupa di Indonesia karena terkendala persoalan infrastruktur internet yang disebutnya belum memadai.
“Tapi nanti memang trennya mengarah ke online, semua serba cloud,” tutup Sudimin.
Category
Komentar